Tuhan aku takut melalui hidup ini
Aku merasa tidak sempurna hidup di dunia dan selalu mendapatkan cercaan dari orang lain
Bagaimana aku bisa melalui hidup ini kalau aku merasa terasing?
Berikanlah aku kekuatan Tuhan...
Sungguh aku percaya akan rahmat dan karunia-Mu
Karena Engkau tidak mungkin memberikan cobaan diluar kemampuan umat-Nya
Itulah sepenggal puisi karya Widya Anggrainum, teman sebayaku yang mengidap penyakit kanker, aku bertemu dia saat mengantar ayah ke Rumah Sakit untuk kontrol ke dokter Jantung. Jujur aku merasa sangat sedih melihat keadaannya waktu itu, namun aku menahan untuk tidak menangis. Widya, begitulah ia sering dipanggil ia begitu tabah dan mensyukuri akan hidupnya sekarang ini. Bahkan ketika aku menjenguknya untuk kedua kalinya, ia begitu semangat begitu aku tersenyum menatap matanya. Aku terenyuh melihat bola matanya yang begitu berbinar-binar menatap mataku seakan dia berkata : Terima Kasih Tuhan engkau memberikan seseorang yang mau berteman denganku. Perlu kalian ketahui, Widya tidak punya teman selain para pasien yang mengidap penyakit yang sama dengannya! Karena, ya seperi yang aku bilang dengan kalian kalau Widya sering dicibir karena kondisi fisiknya. Rambut Widya sudah tidak ada alias botak karena menjalani Kemoterapi, untuk menutupi kepalanya itu dia sekarang sudah memakai kerudung. Oh ya, aku belum kasih tahu namaku hehhe maaf ya..karena keasyikan ceritain Widya , nama panjangku Shabrina Anindhita Tyas kalian boleh memanggilku Rina dan umurku baru 15 tahun. Aku baru masuk SMA nih??... Loh kok jadi curhat ya??
"Assalamu'alaikum" salamku begitu masuk ke ruang perawatan begitu melihat Widya.
"Wa'alaikummussalam, rina apa kabar?" jawabnya sambil mencoba tersenyum.
"Alhamdulillah baik. Kamu?" tanyaku sambil melihat wajah Widya yang semakin hari semakin lesu.
"YA begini aja kok! Ga ada perubahan" Ujarnya lesu.
Aku hanya mencoba tersenyum melihat jawabannya itu, ada sedikit duka di perkataanya. Itu yang membuat aku tidak bisa berbicara untuk menanggapi omongannya. Sepertinya Widya merasa aku menjadi berpikir tentang dirinya, langsung ia mengajakku duduk di sampingnya.
"Rina, kamu mau sampai kapan berdiri kayak patung begitu???" ujarnya sambil tersenyum.
"Sampai kamu mau makan.." kataku sambil menunjuk makanan yang belum dimakan oleh Widya.
"Aku tidak lapar!" Widya langsung cemberut.
"Kenapa kamu enggak mau makan sih?" ujarku sedih melihatnya.
"Percuma saja aku makan, pasti aku akan mati!"
Aku segera memeluknya begitu air matanya mengalir deras di pipinya. Aku yakin dia pasti menganggap dirinya tidak berguna di dunia ini, kalau aku menjadi dia pasti aku akan menganggap diriku seperti itu. Tapi Widya selalu tegar mengahadapi dunia ini, tapi kenapa hari ini ia begitu sedih? Apa ada masalah menimpa dirinya? Atau ada orang yang menjelek-jelekkan dirinya? Sampai ia begitu sedih hari ini Entahlah!
Ada seorang dokter menghampiriku saat aku beranjak pulang begitu menutup pintu kamar perawatan Widya.
"Selamat siang, anda keluarga dari nona Widya?" tanya dokter itu ramah.
"Siang, oh saya temannya Widya maaf ada apa ya?" kataku bingung.
"Oh maaf, saya kira anda keluarganya, ksmi ingin memberitahu kalau Widya harus segera dioperasi!" jawab dokter itu serius.
"Operasi? untuk apa ya?" tanyaku penasaran.
"Oh maaf mbak, saya hanya bisa menjelaskan hal ini kepada keluarganya saja Permisi!" pamit dokter itu.
Aku segera menelpon Tante Alma, yang tak lain adalah mamanya Widya.
"Assalamu'alaikum, tante ini Rina tante bisa ke rumah sakit sekarang?"
"Wa'alaikumussalam, bisa kok tante segera kesana ya!"
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Tante Alma datang juga. Segera aku salami wanita yang umurnya hampir 45 tahun ini tapi tetap kelihatan cantik dan awet muda. Ia begitu khawatir akan keadaan anaknya, sehingga begitu ia sampai menghampiriku raut wajahnya sangat cemas.
"Tante tadi Rina ketemu sama dokter, katanya Widya harus segera dioperasi, tapi Rina enggak tahu untuk apa Widya dioperasi begitu Rina tanya, kata dokter ia hanya mau bicara dengan keluarga pasien saja!" jelasku panjang lebar.
"Ya sudah, kamu antar tante ke ruangan dokter itu ya?" pintanya.
"Baik tante!" jawabku lembut.
Kami sama-sama mendatangi ruangan praktek dokter itu. Ketika kami mengetuk pintu ruang praktek itu keluarlah seorang dokter berwajah oriental mengenakan setelan jas dokter berwarna putih. Begitu melihat kami, dokter itu segera mempersilakan kami untuk masuk ke ruangannya.
"Dokter Kevin, saya Alma ibunya Widya!" ujar Tante Alma.
"Oh ya.. Selamat siang Ibu Alma, saya memang ingin berbicara dengan anda mengenai keadaan kesehatan Widya!"
"Ya silahkan dokter!"
"Begini bu Alma, Widya harus segera dioperasi untuk kesembuhan penyakit kankernya ini, tapi..." pertanyaan dokter Kevin menggantung.
"Tapi kenapa dok?" tanya Tante Alma tidak sabar.
"Tapi ada resikonya ibu, seandainya operasi ini tidak berhasil kemungkinan ia akan meninggal!" kata dokter Kevin serius.
"Lakukan yang terbaik untuk anak saya dokter Kevin!" ujar Tante Alma.
"Baik Bu!"
Sehari setelah aku dan Tante Alma bertemu dengan dokter Kevin, aku kembali menjenguk Widya, namun kali ini ia tidak nampak tersenyum mungkin ia kepikiran kalau ia akan dioperasi beberapa hari lagi.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikummussalam"
"Kamu kenapa? kok wajahmu lesu banget!" tanyaku.
"Aku.... Aku takut Rin!" kata Widya terbata-bata.
"What? Takut? Apa yang ditakutin sih, liat aku jadi takut?" ujarku sambil tertawa.
"Aku takut meninggal Rina! Aku belum bisa memberikan apapun pada mama dan papa. Aku... aku belum bisa membahagiakan mama, papa, dan kakakku!!" ujarnya sambil menangis.
"Sudahlah yang penting kamu tawakal aja sama Tuhan, serahkan saja pada-Nya ya? Kalau kamu bilang kamu belum bisa membahagiakan kedua orang tua dan kakakmu cobalah buat mereka tersenyum. Itu saja dulu!" terangku padanya.
"Thank You Rina, You are the best friend... jangan lupain aku ya?" tanyanya sendu padaku.
"Insya Allah!" janjiku.
Tidak terasa hari semakin cepat berlalu, hari Sabtu ini adalah hari dimana Widya akan di operasi. Aku menyempatkan untuk datang, namun memang manusia yang merencanakan tapi tetap Tuhan pula yang menentukan aku tidak bisa hadir karena ada pertandingan basket di sekolah dan tidak bisa ditinggalkan. Namun, betapa terkejutnya aku, begitu selesai bertanding aku menyempatkan diri untuk melihat handphoneku, dilayar handphoneku tertera sebuah pesan masuk alias ada sms. Segera aku membukanya, ternyata sms itu memberitahuku bahwa Widya telah meninggal dunia! Saat itu badanku terasa kaku, aku tidak bisa mengucapkan apa-apa. Aku merasa berdosa kenapa aku lebih mementingkan pertandingan basket ini, bukannya ikut menemani Widya saat masa-masa kritisnya. Setelah merapikan semua peralatan basket, aku segera pulang untuk mandi dan segera berangkat menuju rumah Widya, karena tadi Tante Alma baru saja menelponku untuk datang ke rumahnya.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikummussalam"
"Tante...." aku tercekat melihat tante Alma yang begitu pucat karena menangis dan jenazah Widya yang terbujur kaku, namun bibirnya seperti tersenyum.
"Ya Rina, maaf ya tante telat memberitahu kamu!" ujarnya merasa bersalah.
"Bukan tante, Rina yang harus minta maaf karena tidak bisa ke Rumah Sakit!" sesalku.
"Tadi Widya sebelum operasi nanyain kamu terus, dia kangen sama kamu!" kata Tante Alma sedih.
"Benar tante?" aku setengah tidak percaya.
Perkataan Tante Alma membuatku sadar, ternyata Widya menyayangiku dan ingin aku menjadi sahabat, dan teman curhatnya. Tuhan maafkanlah segala dosa-dosa Widya dan tempatkan ia di sisi-Mu Amien! Widya maafin aku ya karena belum bisa menjadi sahabatmu.
(Cerpen - Shabrina Hidayat)
Kamis, 23 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
mdh2an ada yg suka sama cerpen w!!
Posting Komentar